SEJARAH DESA TONSEALAMA

     Desa Tonsealama adalah salah satu desa tertua di Minahasa, sebab desa ini dihuni oleh warganya beberapa saat setelah tercapainya Kesepakatan Damai Watupinawetengan, yang diperkirakan berlangsung pada abad ke-7. Penduduk asli Desa Tonsealama adalah suku Tontiwo yaitu salah satu dari ketiga anak suku Minahasa yang menjadi peserta dalam kesepakatan Watupinawetengan. Dua anak suku Minahasa lainnya yang mengikuti pertemuan tersebut adalah suku Tombulu dan suku Tountemboan.

       Dari pesisir danau mereka kemudian naik menuju Tamporok. Suku Tontiwo mengitari pesisir timur danau (Tondano), sebab genangan air danau ketika itu mencapai wilayah Tataaran. Dari pesisir danau mereka kemudian naik ke punggung pegunungan Lembean dan menelusurinya ke arah utara lalu beristirahat di Nadana, suatu lokasi yang terletak di sebelah tenggara dari pegunungan Makaweimben. Nyadanan berasal dari kata “na’dan” yang dalam bahasa Tonsea artinya tangga, sebab bentuk permukaan tanah di tempat itu menyerupai tangga.

       Dalam peristirahatan di Nadana, anak suku Minahasa ini melakukan aktivitas berburu dari suku Tontiwo ini menemukan suatu lokasi yang sangat indah menurut pengamatan mereka sebab permukaan tanahnya landai dan didapati banyak tumbuhan yang dapat dimakan serta sumber mata air yang muncul dimana-mana. Para pemimpin suku Tontiwo yang diberitahu soal penemuan ini segera datang menelitinya dan langsung menyatakan bahwa lokasi tersebut sangat baik untuk dijadikan permukiman. Maka sejak itu suku Tontiwo menetap di lokasi ini, dan menunda perjalanannya menuju Tamporok.

       Dari tempat inilah dikemudian hari secara bertahap mereka melanjutkan perjalanannya ke arah utara untuk memenuhi amanat Watupinawetengan yaitu mendiami wilayah sekitar gunung Tamporok. Suku Tountemboan dan Suku Tombulu sebaqai peserta kesepakatan Watupinawetengan ketika mendengar tentang keputusan Suku Tontiwo untuk menunda perjalanan ke gunung Tamporok menganggap bahwa anak Suku Minahasa yang satu ini telah menyimpang dari rute yang telah mereka tetapkan semula. Seharusnva Nadana mereka sudah harus turun gunung ke arah kaki gunung Tamporok yang sudah sangat jelas terlihat dari posisinya saat itu, namun mereka tidak melakukan hai itu, bahkan berbelok ke kiri, ke arah barat dan membangun pemukiman baru, jauh dari gunung Tamporok.

Atas perubahan arah perjalanan ini disebut Tou-uii-sea, se simea = mereka menyimpang (sea = berbelok, menyimpang).

       Jadi, awal penyebutan istilah Tonsea bermula dari peristiwa ini dan bukan menghindari perang dengan suku lain seperti keterangan suku lain dalam buku “Minahasa masa lalu dan masa sekarang” karangan N. Graafland, sebab pasca kesepakatan Watupinawetengan tidak ada perang antara suku di Minahasa.

Setelah suku Tonsea tersebar secara merata di Minahasa Utara maka tempat permukiman pertama orang Tonsea ini mereka sebut “Kembuan” atau mata air. Mereka membayangkan perjalanannva dari Kembuan hingga tersebar di kaki gunung Tamporok dan di seluruh Minahasa Utara ibarat sebuah mata air yang mengalir membasahi setiap jengkal tanah di Minahasa. Dengan demikian negeri Kembuan dianggap sebagai pusat penyebaran suku Tonsea, sehingga negeri ini diberi sebutan “Wanua Tu’a” diganti dengan Tonsealama, Distrik Airmadidi.

       Tahun 1985 dimasa kepemimpinan Kepala Desa Wemfried Reihard Tumengkol, Desa Tonsealama dimekarkan menjadi dua desa dengan batas pembagian mengikuti batas air yaitu sungai Tondano. Bagian Barat diberi nama Desa Kembuan, sedangkan di sebelah Timur sungai yang merupakan desa induk tetap memakai nama Tonsealama.

Tahun 2003 Desa Tonsealama dan Kembuan dimasukkan dalam wilayah Pemerintahan Kecamatan Tondano Utara dari kecamatan sebelumnya yaitu Kecamatan Airmadidi, dan Desa Tonsealama berstatus ibukota Kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa.

                                                                              Nama-Nama Hukum Tua Desa Tonsealama

NO.

NAMA HUKUM TUA

TAHUN PEMERINTAHAN

KET.

1.

Tombey Kandou

1808 1819

 

2.

Samel Tumengkol

1819 1836

 

3.

Kojansouw Manoppo

1836 1857

 

4.

Ambrosius Tumengkol

1857 1866

 

5.

Josias Kandou

1866 – 1888

 

6.

Wellem Tumengkol

1888 – 1892

 

7.

Arnold Dimpudus

1892 – 1920

 

8.

Leonard Polii

1920 – 1928

 

9.

lzaak Pangemanan

1928 – 1934

 

10.

Jehosua Manoppo  Hanoch

1934 – 1940

(PLT)

11.

Sumampouw

1940 – 1943

 

12.

Eliezer Rumbajan

1943 – 1944

(PLT)

13.

Emest Lengkong

1944 – 1945

 

14.

Johan Lontoh

1945 – 1946

(PLT)

15.

Ernest Lengkong

1946 – 1947

 

16.

Barnabas Wenas

1947 – 1949

 

17.

Lefrand Dimpudus

1949 – 1950

(PLT)

18.

Worotikan Tumengkol

1950 – 1951

 

19.

George Dimpudus

1951 – 1959

 

20.

Gustaf Walalangi

1959 – 1961

(PLT)

21.

Frans Tumengkol

1961 – 1965

 

22.

Max Pondaag

1965 – 1969

 

23.

Pieter C. Runtu

1969 – 1983

 

24.

Wemfried  R. Tumengkol

1983 – 1993

 

25.

Gregorius O. W.Sumampouw

1993 – 2002

 

26.

Ruddy Kalalo

2002 – 2003

(PLT)

27.

Christofel L. Manoppo

2003 – 2005

 

28.

Mathilda Nelwan

2005 – 2005

(PLT)

29.

Christofel L. Manoppo

2005 – 2008

 

30.

Henny E.O.Tumengkol

2008 – 2008

(PLT)

31.

Joice A. Wenas

2008 – 2017

 

32.

Aldrin A.Christian, S.STp

2017 – 2017

(PLT)

33.

ESTEFANUS DIMPUDUS, A.Md

2017 - Sekarang

 

Share